L . G . B + T

Belakangan ini kita sering mendengar istilah “LGBT” ramai dibicarakan. Apakah anda paham dengan istilah ini ? LGBT merupakan singkatan dari :

L = Lesbian ; G = Gay ; B = Biseksual ; T = Transgender

Singkatan ini merupakan istilah yang digunakan dan beredar di masyarakat, untuk menunjukkan adanya penyimpangan orientasi seksual pada diri seseorang. Akan tetapi singkatan ini “tidak dikenal dalam pustaka formal / ilmiah”.

Terdapat 3 jenis orientasi seks yang dikenal secara umum, yaitu :

  • Heteroseksualitas : tertarik secara seksual pada lawan jenis.
  • Homoseksualitas : tertarik secara seksual pada sesama jenis. Lesbian (sesama perempuan) dan Gay (sesama pria) termasuk dalam golongan ini.
  • Biseksualitas : tertarik secara seksual pada semua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).

Dari sini kita bisa melihat bahwa istilah L-G-B memang merujuk pada orientasi seksual di luar Heteroseksual. Istilah ini juga baru bisa digunakan jika individu tersebut tertarik secara seksual. Bukan hanya tertarik saja. Seorang anak atau remaja tertarik pada sesama jenis kelamin, karena mengidolakan, merasa nyaman, diperhatikan dan disayang belum tentu seorang homoseksual. Bisa jadi ia menganggap figur tersebut sebagai figur ayah/ibu atau kakak/adik yang hilang. Namun hal ini perlu diperhatikan agar tidak berkembang lebih jauh.

Berbeda hal nya dengan “T”, dimana Transgender bukan masalah orientasi seksual, sehingga tidak tepat jika disandingkan dengan singkatan L,G,dan B. Transgender adalah individu yang cara berperilaku dan penampilannya terlihat menyimpang dari norma gender yang dikenal di masyarakat. Jika norma gender seorang pria di masyarakat adalah perilaku maskulin, maka pria yang feminin dapat dikatakan seorang transgender. Begitu juga dengan perempuan yang berperilaku maskulin dapat dikatakan seorang transgender. Hal ini belum tentu terkait dengan orientasi seksual, namun perlu diperhatikan dalam pola pengasuhan.

Transgender berbeda dengan transeksual. Dalam ilmu psikologi abnormal, dikenal istilah “Trans-Seksualisme” yang termasuk salah satu jenis Gangguan Identitas Jenis Kelamin. Dimana ada ketidaksesuaian antara penghayatan diri individu dengan anatomi seks nya. Misalnya seseorang merasa identitas dirinya sebagai perempuan, namun terperangkap dalam tubuh biologis sebagai pria. Atau sebaliknya. Hal ini biasanya ditindaklanjuti dengan mengganti anatomi fisik, agar sesuai dengan identitas diri yang dihayati secara psikologis.

Apa sih penyebabnya L.G.B+T tersebut ? Banyak sebab. Sampai sekarang pun para pakar masih berdebat antara sebab genetik vs pengaruh lingkungan. Yang pasti dari pengalaman kerja/praktek saya menangani kasus psikologi (lebih dari 10 tahun), saya belum menemukan penyebab genetik. Yang saya amati, justru semuanya memiliki masalah dengan figur ayah atau ibu yang tidak memberikan kasih sayang, dingin dan tidak berperan dalam pengasuhan sebagaimana seharusnya. Figur ayah yang sebetulnya menjadi peran sentral, seringkali dilupakan dalam pola pengasuhan anak. Padahal pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan psikologis dan seksualitas anak, terutama pada saat sang anak beranjak remaja dan dewasa.

Mengapa sekarang banyak sekali dijumpai fenomena transgender, dimana pria berperilaku seperti perempuan ? Bayangkan saja, sejak kecil anak pria diasuh oleh ibu atau suster atau pembantu yang berjenis kelamin perempuan. Guru di TK dan SD (maupun di sekolah minggu) hampir seluruhnya perempuan. Belum lagi jika anak mengikuti les dan kemudian diajar oleh guru perempuan. Bagaimana sang anak bisa belajar dan mencontoh perilaku seorang “pria” yang seharusnya ?

Tulisan kali ini akan saya tutup tidak dengan teori atau kesimpulan, melainkan dengan kisah nyata dari 2 individu. Sebut saja namanya Tini dan Tono.

Tini, perempuan yang sejak kecil berpenampilan maskulin dan lebih suka mengikuti aktivitas outdoor bersama teman-teman pria nya. Menjelang remaja, ia terlihat sangat dekat dengan teman perempuan yang cantik. Kemana-mana selalu bersama. Melakukan aktivitas seperti remaja perempuan pada umumnya, bergandengan tangan, berangkulan, dsb. Saat kuliah, barulah ia berani menyatakan dirinya sebagai lesbian. Bersamaan dengan itu, ia merubah total gaya penampilannya dari yang seperti pria menjadi sangat “perempuan” karena tuntutan karir. Pada usia dewasa, ternyata Tini memutuskan untuk menikah dan saat ini telah memiliki anak.

Tono, pria yang sejak kecil berpenampilan menarik, banyak bermain dengan teman-teman perempuan dan pada masa remaja tergolong playboy (suka berganti-ganti pacar perempuan). Tono tumbuh menjadi pria yang maskulin, banyak bergaul dengan teman pria dan memiliki karir yang baik. Pada usia dewasa, ternyata Tono memutuskan untuk mendeklarasikan hubungan cinta nya dengan seorang teman pria. Saat ini mereka berdua hidup bersama di luar negri.

Tini dan Tono sama-sama dibesarkan di tengah keluarga yang utuh, namun figur ayah tidak muncul dalam pengasuhan di rumah karena sibuk bekerja di luar rumah. Figur ibu di rumah sangat dominan, cerewet dan galak. Mereka tumbuh dalam kebingungan peran, karena tidak ada figur ayah dan tidak menyukai figur ibu. Siapa yang harus dicontoh ?

Apa yang membedakan Tini dan Tono ? Awal ceritanya ? Akhir ceritanya ? Bagi saya, yang berbeda adalah proses nya. Seorang manusia pada dasarnya akan mencari lingkungan yang bisa menerima dan mengasihinya, yang bisa menjadi tempat berbagi suka dan duka. Jika ia “ditolak” di lingkungan heteroseksual, maka tidak heran ia akan terjerumus lebih dalam pada lingkungan homoseksual yang “menerima”nya. Ini seperti sebuah jebakan, dimana ia tidak bisa menolong dirinya sendiri. Ia membutuhkan bantuan !

Siapkah kita untuk menghadapi jaman ini ? Membagikan kasih Tuhan kepada “semua” orang, tanpa terkecuali, tanpa syarat. Bukankah kita semua orang berdosa ? Apakah kita berhak menghakimi orang lain, hanya karena dosanya berbeda dengan dosa kita ?

Mari kita kasihi orang-orang yang terjebak dalam LGB+T. Jangan dijauhi atau dimusuhi. Kita memang tidak mendukung perbuatannya, namun mereka justru membutuhkan bantuan kita untuk bisa mengenal kasih karunia Tuhan. Jika menemui orang-orang bermasalah  orang di sekitar kita, silakan anda berkonsultasi dengan konselor atau psikolog, untuk mendapat gambaran apa yang bisa anda lakukan untuk menolong mereka. Itu lebih efektif daripada mendorong-dorong mereka yang bermasalah untuk pergi ke konselor atau psikolog.

Marilah kita berperan dengan sebaik-baiknya, terutama dalam lingkup keluarga. Karena keluarga yang kita bina juga merupakan pertangunggjawaban kita sebagai orang beriman. Mari bagikan teladan kehidupan dan kasih sayang Tuhan kepada orang-orang di sekitar kita. Baik sebagai ayah, ibu, anak, suami, istri, anak, mertua, menantu, dsb.

Tuhan memberkati peranan kita sekalian dalam kehidupan di bumi ini ! (DMS)